Jumat, 17 Februari 2012

Jurnal Ilmiah dan Kegalauannya

Sejenak mahasiswa se-Indonesia tertegun dan terdiam setelah melihat berita baru terpampang di media cetak dan elektronik bahwa Kemdikbud menetapkan kebijakan baru mengenai syarat kelulusan mahasiswa. Sebuah kebijakan yang ditanggapi secara beragam oleh banyak pihak, baik dari pihak akademisi bahkan mahasiswa sendiri.

Kebijakan tersebut sangat esensial sekali bagi kelangsungan kehidupan perkuliahan di seluruh Indonesia.. berdasarkan surat edaran 152/E/T/2012 yang ditujukan pada seluruh rektor/ketua/direktur seluruh PTN dan PTS di Indonesia dimana surat ini ditandatangai oleh Dirjen Dikti, Joko Susanto yang menyatakan bahwa syarat kelulusan mahasiswa S1, S2 atau S3 adalah menyertakan dan membuat karya ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah, baik online ataupun cetak .

Kalau dilihat, tujuan dari kementerian ini adalah sangat baik, yakni guna menggenjot bidang keilmuan di Indonesia khususnya dari banyaknya jurnal ilmiah yang dihasilkan, yang dapat dijadikan sebagai ukuran kemampuan negeri dalam aplikasi keilmuannya dan pula sebagai momentum untuk akselerator kemajuan pendidikan. Meingat Negara kita kuantitas jurnal yang dihasilkan masih lebih sedikit daripada Negara tetangga.

Marilah kita bercermin kepada mahasiswa S1, karena sebagian besar distribusi mahasiswa ada pada jumlah mahasiswa S1. Untuk syarat kelulusan sebelum adanya surat edaran ini adalah, mengambil semua mata kuliah wajib, ujian serta skripsi. Tetapi jika pada agustus 2012 nanti kebijakan ini diberlakukan, maka yang terjadi adalah mahasiswa harus memacu dirinya untuk membuat sebuha karya ilmiah yang harus dipublikasikan melalui jurnal ilmiah. Banyak pertanyaan yang akan muncul, tapi yang paling jelas adalah apakah mahasiswa siap?.

Sebuah pertanyaan mendasar yang harus dapat dijawab oleh para pemangku kebijakan. Pertanyaan ini pula tidak dapat semata-mata disepelekan hanya untuk membuat budaya menulis semakin lengket di masyarakat Indonesia. Sebenarnya sudah banyak kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemauan menulis bahkan pelatihan menulis yang baik, walau hanya sekedar cerita pendek sampai membuat skripsi. Bahkan di tingkat fakultas pun ada beberapa mata kuliah yang menyiapkan mahasiswa dalam kemampuan menulis. Patut untuk diapresiasi dalam usaha meningkatkan kemampuan menulis ini.

Tetapi untuk meningkat kepada sebuah karya ilmiah, haruslah digalakkan lagi usaha untuk menyiapkan mahasiswa. Jujur, mahasiswa siap untuk menulis sebuah skripsi, tetapi belum tentu siap untuk membuat sebuah karya ilmiah. Kasus calo skripsi memang sudah banyak terjadi dan ini jelas bertentangan dengan tujuan mulia pendidikan. Skripsi saja sudah banyak pelanggaran moral seperti terjadi, pelanggaran moral seperti ini terdapat banyak factor penyebab dibalik itu. Pertama, mungkin kemudahan yang ditawarkan oleh calo skripsi yang membuat mahasiswa tertarik atau malah memang mahasiswa yang belum siap membuat skripsi bahkan mungkin saja mahasiswa mengalami kesulitan dalam pembuatan skripsi. Melirik dari kejadian ini, apakah pemerintah dengan institusi pendidikan terkaitnya, sudah mampu melihat dan menyiapkan solusi permasalahan tersebut seandainya penerbitan karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Baru sekelas skripsi saja sudah terdapat kejanggalan seperti ini apalagi ditambah dengan level yang lebih tinggi, maka sebaiknya pemerintah melalui kementrian pendidikan membuka diri dalam hal ini dan dengan sigap mengatasi hal ini. Bukan hanya dengan cara menindak tegas pelaku kecurangan, tetapi menyiapkan secara lebih intensif lagi mahasiswa dalam persiapannya membuat karya ilmiah. Bisa dengan menambah mata kuliah khusus pelatihan membuat karya ilmiah atau pemberian insentif berupa kemudahan kepada mahasiswa, berupa infrastruktur dan system yang lebih baik. Bayangkan akan terjadi lebih banyak pelanggaran lagi jika mahasiswa tidak disiapkan, banyak lagi calo-calo skripsi yang bermunculan dan berubah nama menjadi calo karya ilmiah, apalagi para calo mengusahakan sebuah karya yang tidak plagiat.

Infrastruktur dan system merupakan pokok persoalan yang juga harus ditanggapi pemerintah. Apakah pemerintah telah menyiapkan sebuah kemapanan dalam pengelolaan jurnal nanti yang telah selesai dibuat. Memang nanti penerbitan tidak akan memakan biaya karena akan diterapkan system online, tetapi bayangkan proses panjang dalam penerbitan jurnal ilmiah, mulai dari masa input karya, proses pengeditan dan penyelesaian. Pengeditan skripsi yang hanya bertempat pada area fakultas saja masih membuat mahasiswa butuh waktu lama, apalagi nanti sekelas jurnal yang harus dipublikasikan. Silahkan imajinasikan, nanti ada sekitar ribuan mahasiswa tingkat akhir dan mereka harus mempublikasikan karya mereka, kalau pemerintah bisa menyiapkan system dan infrastruktur yang baik dan mampu mengampu semuanya sehingga tidak ada mahasiswa yang lulus telat karena publikasi, maka kebijakan ini patut untuk dilanjutkan.

Hal demikian lah yang harus diperhatikan, apabila pemerintah siap untuk agustus 2012, silahkan, asal sudah siap dengan segala kebutuhan mahasiswa nanti. Kami mahasiswa Indonesia mendukung program pemerintah dalama rangka kebaikan ilmu pengetahuan, dengan catatan seperti diatas.

Ardhi Hiang Sawak

Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah mada

Sabtu, 04 Februari 2012

SPMA

Liburan panjang kali ini mau tidak mau juga telah menyulut keinginan para Mahasiswa untuk menyampaikan betapa baiknya kampus mereka kepada anak-anak tahun ajaran terakhir yang sekarang duduk di bangku sekolah menengah atas. Sosialisasi mereka lakukan demi menajaring para calon mahasiswa agar memilih utnuk berkuliah di tempat yang mereka sosialisasikan. Pergerakan mereka berupa pemberitahuan singkat mengenai lingkungan kampus, cara memasuki sebuah uiversitas, hingga biaya yang harus dikeluarkan.

Ada sebuah hal yang setidaknya telah menggelitik penulis mengenai sosialisasi ini, khususnya kampus kerakyatan tempat penulis belajar. Memang sampai sekarang persoalan mengenai jalur masuk hingga biaya yang harus dikeluarkan menjadi pembahasan klasik yang terus menerus dibahas.

Orang tua sekarang mengeluhkan mengenai menanjaknya biaya untuk masuk kuliah atau yan sering disebut dengan SPMA bagi mahasiswa baru, apalagi bagi orang tua yang berkemampuan kurang mumpuni. Keluhan tersebut selalu diungakapkan setiap tahun oleh wali murid yang berbeda pula setiap kali SNMPTN diadakan.

Ada sebuah dilemma yang mendera persoalan ini, persoalan pelik yang memeiliki dua sisi koin yang berbeda kepentingan, tetapi tetap tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Usaha dalam memberikan pendidikan tinggi bagi rakyat tanpa menyusahkan rakyat merupakan cita-cita luhur seluruh universitas. Mencerdaskan bangsa menjadi salah satu pokok impian seluruh rakyat Indonesia, tanpa pamrih semata-mata demi kemajuan negeri nusantara ini. Harapan kemudian muncul, harapan kalau Universitas dan Perguruan Tinggi setingkat di negeri akan memberikan fasilitas serta biaya pendidikan yang mendukung jiwa kerakyatan. Biaya pendidikan murah sangat diidamkan oleh orang tua calon mahasiswa, bermimpi dapat menyekolahkan anak-anak mereka lebih tinggi lagi dengan harga yang murah dan tempat yang terbaik, tanpa harus dibelenggu dengan mahalnya biaya masuk perguruan tinggi saat ini.

SPMA yang didasarkan pada total gaji orang tua, baikkah? Kalau dibandingkan dengan sebelumnya, dimaa SPMA bisa didasarkan kepada berapa sanggup membayar, menurut penulis ini masih lebih baik, daripada seperti yang terlihat sekarang SPMA yang dipaksakan harus sesuai total pendapatan orang tua sebulan. Apakah orang tua yang berpenghasilan total antara satu juta hingga dua setengah juta benar-benar feasible untuk membayar SPMA hingga sepuluh juta, padahal yang harus kita ketahui juga bahwa gaji digunakan untuk berbagai macam kepentingan dan keperluan. Kalau saja pihak universitas mau untuk membantu kelonggaran dan memberi kemudahan pembayaran kepada penanggung biaya, mungkin sedikit lebih bijak, akan tetapi kalau dilihat dilapangan, kemudahan ini cukup sulit dan panjang untuk didapatkan, walau pada akhirnya mungkin saja bisa mendapatkan keringanan ini.

Tapi penulis yang terhormat, kan orang tua harus diwajibkan mencantumkan surat kemampuan membayar SPMA. Surat ini memang salah satu kebijakan dari universitas untuk mengantisipasi orang tua yang tak sanggup membayar, tetapi apakah identitas pendidikan untuk kemakmuran rakyat akan dipertanyakan. Betapa memaksanya system pembayaran ini, memberatkan bisa dibilang, akan tetapi bisa lebih baik lagi, ditambah dengan surat kesediaan membayar dengan pilihan secara tunai atau mengangsur.

Di sisi koin yang lain, rakyat menginginkan kampus yang layak dan bisa memberikan fasilitas pengajaran yang baik bahkan berakreditasi internasional kalau bisa. Mungkin ini yang bisa menjadi pemikiran pihak kampus, bagaimana bisa memberikan fasilitas yang memadai dan terbaik, apa harus meminta secara penuh kepada pemerintah?

SPMA merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap menjadi solusi untuk memenuhi keinginan ini. Pengelolaan dana ini akan dijadikan sebagai bantuan untuk pembangunan kampus, baik tingkat universitas atau fakultas .

Dari opini penulis, biaya pendidikan di Singapura memang tergolong mahal, tetapi sarana pendidikan yang diberkan pun sangat baik dan maju dan kebetulan masyarakat disana juga berkemampuan ekonomi cukup baik. Bagaiamana dengan negeri ini, penulis rasa inilah yang menjadi alas an kuat, kalau mau kuliah di tempat yang bagus, yah ada harganya, tetapi harga tersebut juga tetap disesuaikan dengan kondisi ekonomi rakyat, sehingga muncullah system seperti sekarang ini.

Sekarang tinggal bagaimana kita melihat fenomena ini, mendukung rakyat untuk mendapat pendidikan murah atau melihat kampus yang ingin memberikan yang terbaik tetapi ada konsekuensinya. Mempertemukan kepentingan kedua belah pihak harus dilakukan, sekarang yang terjadi banyak orang tua yang tidak tahu mengenai system pemyaran yang baru ini. Kalau gaji menjadi tolok ukur biaya, sehingga ketika mendengar harga yang tinggi, mereka langsung menganggap Universitas tidak berpihak pada rakyat. Tetapi kita juga tidak bisa melupakan cita-cita luhur untuk memberikan pendidikan demi kemakmuran rakyat tanpa pamrih. Bagai memakan buah simalakama, kalau menurut penulis, sekarang tinggal bagaimana piak universitas mau memberikan sosialisasi lebih intens lagi pada msayarakat, kalau SPMA masih berpihak pada rakyat. Jika tidak, ucapkan selamat tinggal bagi harapan pendidikan untuk kemakmuran.