Minggu, 03 November 2013

Realita dan Idealisme: Mahasiswa Pasti Punya Jawabnya

Mungkin banyak yang akan bilang kalau sebuah kata sakti yang dibaca "Mahasiswa" haruslah menjadi tolok ukur pembangunan bangsa. Idealisme menjadi senjata utama untuk bangung negara. Walaupun di dalam kelas diajarkan Kapitalisme, Liberalisme bahkan sosialisme, mahasiswa harus tetap menilik yang terjadi pada bangsa sendiri. Anggapan terus bergulir, bahwa kekuatan mahasiswa adalah yang sangat ditakuti oleh penguasa, bagaimana tidak, ribuan mahasiswa bercokol disetiap universitas, dan ada berapa ribu universitas di negeri ini, tersebar dari barat hingga ke timur, siapa yang tidak ketir.

Tetapi mahasiswa juga harus berpikir bagaimana masa depan mereka nanti, seberapa idealis mahasiswa tersebut saat duduk di bangku kuliah, untuk hidup tetap butuh uang. realita dan idealisme, dilema yang tidak akan lepas, bagai dua garis sejajar yang akan sulit untuk dipertemukan kedua ujungnya. banyak kasus yang terjadi, saat di kampus teriak anti-korupsi dan memimpin aksi massa menentang kebijakan bobrok yang dibuat, tapi saat menjadi pejabat malah tertangkap KPK karena kasus suap. sudah tidak asing hal ini terdengar dan diberitakan oleh media massa. kedok manis dibalik masa lalu yang gemilang untuk perjuangkan bangsa, tetapi hancur lebur di masa kini karena maling uang bangsa.

secara logika mungkin benar uang dapat merubah segalanya, baik jadi buruk, bahkan buruk menjadi baik. Tapi akankah mahasiswa akan berulang terjebak dalam keadaan seperti itu? saya rasa tidak. ada yang bilang kalau kerja di perusahaan multinasional, maka tidak nasionalis. Ada yang bilang kalau jadi pegawai, kapan bangsa mau maju kalau kaum mudanya hanya mental pekerja, bukan pengusaha. Wajar jika banyak yang beranggapan seperti hal tersebut, itulah mungkin yang kita sebut dengan Realita adalah musuh besar Idealisme. Pak Suryo Suwignjo, Presiden Direktur IBM Indonesia, dalam kuliah umumnya berkata "Life is NOT FAIR". Jangan Pernah berharap hidup akan adil kepada manusia, makhluk Tuhan yang lemah dan tiada daya. Usaha keras harus dilakukan jika ingin membuat hidup mengikuti kehendak seseorang dan jangan lupa berdoa agar dimudahkan jalan yang ditempuh. Ditambah lagi, tidak hanya satu atau dua untuk buat Indonesia menjadi maju, IBM pun punya visi yang disebut "Smart City", untuk membuat kota di Indonesia menjadi lebih baik melalui teknologi informasi.

Dari pernyataan tersebut, saya suskes dibuat terkejut. Banyak cara yang dapat dilakukan untuk memperbaiki bangsa, bahkan dengan hal sekecil apapun. semoga insight singkat dapat menjadi jawaban bagi Mahasiswa yang masih bingung antara Realita dan Idealisme, karena tidak akan ada yang tersakiti jika niat baik dan aksi yang baik menjadi penggerak utama.

Jumat, 15 Juni 2012

PASTI

semua nya berjalan pasti,
detik berdetak tanpa henti, terus bergerak dengan pasti, tinggal bagaimana manusia dalam detik itu yang pasti. mau pasti atau tidak.
pasti itu susah, karena semua ada yang mengatur, tapi kalau tidak mau pasti, semuanya juga susah.
saya bingung ketika ada orang yang tidak mau untuk mencoba memastikan, ya memang semua di tangan Tuhan, tapi kalau tidak berusaha untuk memastikan, semuanya juga tidak akan bisa pasti.
usaha itu harus, tidak salah jika kita berusaha memastikan.
pasti itu milik Tuhan, tapi kalau tidak merencanakan kepastian, siapa yang tahu besok kalau masih ada Indonesia.

Ideal-is-me

Idealisme


Ideal-is-me

atau

idealis-me

atau

ide-all-is-me

atau benar-benar...

ideal-isme

atau hanya sekedar

idealisme...

Kamis, 15 Maret 2012

Parkiranku sayang

Banyak masukan yang datang kepada penulis dan lembaga yang penulis bernaung untuk mengusut masalah parkiran sekitar kampus yang makin menjadi-jadi. parkiran yang menyempit atau malah motornya yg makin besar atau memang malah motornya yang makin banyak. semakin dilihat sepertinya masuk jam 7 pagi, hampir sulit mencari parkir motor.
Tapi disini perlu penulis perjelas dulu parkiran yang mana yang dipermasalahkan sekarang. fakultas tepat penulis bernaung memiliki dua buah spot parkir motor. satu parkiran bersama dengan Fakultas yang berkecimpung dengan ilmu budaya dan yang satunya lagi berkecimpung dengan fakultas yang mempelajari psikologi manusia serta pemikiran manusia. parkiran yang menjadi buah bibir hangat para mahasiswa adalah parkiran yang berbagi dengan fakultas yang mempelajari psikologi dan pemikiran manusia itu.
pemasalahan mencuat ketika mahasiswa mendapati bahwa tempat belok untuk mobil menjadi penuh sesak oleh motor yang terparkir menutupi jalan U-turn mobil, sehingga tidak ada mobil yang bisa lewat. parahnya lagi, sampai-sampai ada mobil yang harus mundur untk keluar dari tempat parkir itu, penulis bukannya membela pengguna mobil loh, penulis juga pengguna motor roda dua.
Mahasiswa yang reaktif langsung merasa gerah dan bingung kenapa hal ini dapat terjadi, banyak yang berencana protes sendiri dan ada juga yang mengadu kepada lembaga yang penulis naungi untuk dibantu pemecahan solusinya. akhirnya team dan penulis pun naik "keatas" dan mengadu kepada pihak yang berwenang mengenai kejadi yang amat luar biasa ini. alhasil, 5 hari berselang, U-turn dibatasi tempatnya sebagai tempat parkir motor dan diberikan luang untuk mobil menikung. penulis pikir, ada kemajuan dan berharap akan terus bersinergi keatas agar tempat parkir makin nyaman.
tetapi 4 hari berselang, pengguna motor kembali lagi melakukan hal yang serupa. parkiran motor di U-turn kembali seperti semula bentuknya, penuh sesak lagi, padahal jelas-jelas sudah ada tali pembatas disitu. sekarang yang patut dipertanyakan kepeduliannya siapa? pihak penyedia parkir atau pengguna motor yang parkir sembarangan itu?
sampai hari penulis menulis tulisan ini, kejadian tersebut masih terjadi.

perlu kita lihat, apa penyebab yang terjadi pada kasus ini. berdasarkan opini penulis, tempat parkir kita gak berubah menjadi makin sempit. tahun 2011 awal, pengguna motor masih bisa bernafas lega untuk parkir. parkir motor jam 7 pagi masih lega, tapi sekarang, jam 10 pun kita harus bertarung untuk mendapatkan parkiran. so, luas lahan parkir tidak menjadi masalah, malah UGM memperluas tempat parkir motornya yang memang dikhususkan untuk mahasiswa angkatan baru agar bisa digunakan.
lalu, apa yang menjadi perhatian saat ini. setiap tahunnya Fakultas penulis menerima sekitar 400-500 mahasiswa, anggaplah mahasiswa baru ini mampu dan memiliki keinginan untuk membawa kendaraan sendiri. seperti motor atau mobil contohnya. sedangkan mahasiswa yang lulus setiap tahunnya adalah ... orang. cukup terlihat timpangnya antara yang keluar dan masuk. istilah FIFO pun sulit untuk diterapkan disini. melihat kenyataan itu, wajarlah kalau permasalahn parkir memang masalah laten pada masa lalu dan baru keluar saat ini tanpa adanya persiapan terhadap fenomena ini dengan cukup matang.
KIK atau yang biasa singkatan dari Kartu Identitas Kendaraan kurang menunjukkan taringnya. sebagai mahasiswa yang mendukung penerapa KIK sebagai cita-cita terwujudnya kampus educopolis tapi tetap tidak melupakan filsafat kerakyatan dalam kegiatannya, penulis sendiri merasa kecewa. belum lagi isu yang menimpa dana hasil pemungutan karcis masuk di loket KIK, makin membuat penulis merasa "stunning". tapi sisi yang lain, jika yang boleh parkir hanya yang menggunakan KIK, bagaimana dengan tamu fakultas yang hendak berkunjung menggunakan motor?
Spanduk yang baru-baru ini ada di depan jalan sosio humaniora yang mengucapkan terima kasih kepada mahasiswa baru karena kesadarannya tidak menggunakan kendaraan di dalam area kampus Sosio Humaniora, menjadi perhatian penulis. ya, Kesadaran adalah kuncinya, masih bukan untuk bermaksud menyinggung beberapa pihak mahasiswa yang katanya tidak diperkenankan menggunakan kendaraan dan memarkirnya di area kampus Sosio Humaniora, tetapi juga kepada pengguna area parkir untuk sama-sama mengerti dan berpikir, kalau kenyamanan itu milik kita bersama. sudah sebaiknya sebagai mahasiswa yang intelek kita harus berpikir bagaimana bisa memberi kenyamanan bersama bagi semua. memang parkir di U-turn itu sangat mudah, enak dan dekat dengan kampus, akan tetapi sangat kurang nyaman dan mungkin bisa menggangu para pengguna parkir lain.
ya, kesadaran kita lah kuncinya. terima kasih

P.s: penulis masih dalam tahap belajar, mohon maaf atas ketidaknyamanan yang ada.



Rabu, 07 Maret 2012

Corporate Social Responsibility, sekedar ulasan

CSR yang merupakan singkatan dari Corporate Social Responsibility merupaka sebuah usaha dari perusahaan untuk mensejahterakan atau juga memberdayakan masyarakat tempatnya melakukan usaha dengan beberapa program, baik bantuan langsung atau alternatif cara lainnya.

Kegiatan merupakan bukti utama untuk menunjukkan bahwa perusahaan memiliki sebuah tanggung jawab sosial bagi penduduk dimana berlangsungnya kegiatan usaha tersebut. beberapa cara ditempuh oleh perusahaan dalam melakukan hal ini, seperti menyisihkan untung kegiatan bisnis perusahaan dan membentuk sebuah yayasan sosial dan memberikan kontribusi langsung kepada khalayak demi kemajuan bersama, baik pada bidang pendidikan, ekonomi serta kesehatan.

Banyak perusahaan menggembar-gemborkan CSR yang dimilikinya kepada pemirsa iklan bahwa mereka telah berkontribusi langsung bagi kelangsungan hidup dan turut membantu pemerintah dalam peninngkatan mutu manusia di suatu negara. Misalnya dengan memasang iklan di televisi tentang bantuan apa saja yang telah diberikan atau bahkan mengunjungi sekolah-sekolah untuk mensosialisasikan kegiatan tersebut.

Pada praktiknya, perusahaan juga sering mencantumkan merek dagang tertentu pada pelaksanaan program sosialnya pada masyarakat dan juga banyak yang secara langsung memakai nama perusahaannya untuk judul program tersebut. misalnya kegiatan menggosok gigi bersama anak-anak SD di suatu daerah dengan membawa produk tertentu sebagai daya tariknya atau juga menggunakan nama perusahaan, seperti Tanoto Foundation dan sebagainya.

beragam bantuan pula yang diberikan oleh perusahaan melalui kegiatan CSR. Banyak perusahaan biasanya memberi bantuan sesuai dengan industri yang mereka geluti. seperti perusahaan broker pasar modal, walaupun perusahaan yang memberikan pelayanan berupa jasa makelar transaksi pasar modal, mereka memberikan pelatihan gratis kepada masyarakat yang ingin mempelajari pasar modal secara lebih lanjut. tetapi tak bisa dikatakan sedikit juga CSR perusahaan jauh berbeda dengan core business yang dimilikinya, seperti perusahaan perkebunan yang memberikan program beasiswa bagi mahasiswa dan pengembangan sumber daya manusia secara cuma-cuma.

Dalam ilmu antropologi, CSR mendapat beberapa argumen sengit yang mengatakan apakah program ini baik atau tidak. CSR merupakan program bakti perusahaan terhadap masyarakat. terlihat sangat mulia tujuannya, tetapi ada beberapa pihak yang meragukan hal ini. CSR dianggap sebagai pengalihan kewajiban perusahaan untuk memperbaiki kerusakan sosial yang ada jika perusahaan tersebut telah melakukan kerusakan sosial maupun lingkungan. mereka mengalihkan pembiayaan kerusakan tersebut yang mungkin memakan uang lebih banyak daripada mengeluarkan uang untuk CSR mereka. hal ini yang dikhawatirkan para pengamat sosial, mengatasnamakan CSR demi kepentingan dan keuntungan perusahaan semata. bukan untuk memperbaiki malah mengalihkan.

sebagai masyarakat yang baik haruslah awas dalam pengamatan perusahaan dalam melakukan program sosialnya, karena power of people yang amat besar dan kuat dalam menyelesaikan masalah pelik dan berkepanjangan.

p.s: penulis masih dalam tahap belajar, mohon maaf atas segala kesalahan dan kekeliruan

Jumat, 17 Februari 2012

Jurnal Ilmiah dan Kegalauannya

Sejenak mahasiswa se-Indonesia tertegun dan terdiam setelah melihat berita baru terpampang di media cetak dan elektronik bahwa Kemdikbud menetapkan kebijakan baru mengenai syarat kelulusan mahasiswa. Sebuah kebijakan yang ditanggapi secara beragam oleh banyak pihak, baik dari pihak akademisi bahkan mahasiswa sendiri.

Kebijakan tersebut sangat esensial sekali bagi kelangsungan kehidupan perkuliahan di seluruh Indonesia.. berdasarkan surat edaran 152/E/T/2012 yang ditujukan pada seluruh rektor/ketua/direktur seluruh PTN dan PTS di Indonesia dimana surat ini ditandatangai oleh Dirjen Dikti, Joko Susanto yang menyatakan bahwa syarat kelulusan mahasiswa S1, S2 atau S3 adalah menyertakan dan membuat karya ilmiah yang dimuat di jurnal ilmiah, baik online ataupun cetak .

Kalau dilihat, tujuan dari kementerian ini adalah sangat baik, yakni guna menggenjot bidang keilmuan di Indonesia khususnya dari banyaknya jurnal ilmiah yang dihasilkan, yang dapat dijadikan sebagai ukuran kemampuan negeri dalam aplikasi keilmuannya dan pula sebagai momentum untuk akselerator kemajuan pendidikan. Meingat Negara kita kuantitas jurnal yang dihasilkan masih lebih sedikit daripada Negara tetangga.

Marilah kita bercermin kepada mahasiswa S1, karena sebagian besar distribusi mahasiswa ada pada jumlah mahasiswa S1. Untuk syarat kelulusan sebelum adanya surat edaran ini adalah, mengambil semua mata kuliah wajib, ujian serta skripsi. Tetapi jika pada agustus 2012 nanti kebijakan ini diberlakukan, maka yang terjadi adalah mahasiswa harus memacu dirinya untuk membuat sebuha karya ilmiah yang harus dipublikasikan melalui jurnal ilmiah. Banyak pertanyaan yang akan muncul, tapi yang paling jelas adalah apakah mahasiswa siap?.

Sebuah pertanyaan mendasar yang harus dapat dijawab oleh para pemangku kebijakan. Pertanyaan ini pula tidak dapat semata-mata disepelekan hanya untuk membuat budaya menulis semakin lengket di masyarakat Indonesia. Sebenarnya sudah banyak kegiatan yang ditujukan untuk meningkatkan kemauan menulis bahkan pelatihan menulis yang baik, walau hanya sekedar cerita pendek sampai membuat skripsi. Bahkan di tingkat fakultas pun ada beberapa mata kuliah yang menyiapkan mahasiswa dalam kemampuan menulis. Patut untuk diapresiasi dalam usaha meningkatkan kemampuan menulis ini.

Tetapi untuk meningkat kepada sebuah karya ilmiah, haruslah digalakkan lagi usaha untuk menyiapkan mahasiswa. Jujur, mahasiswa siap untuk menulis sebuah skripsi, tetapi belum tentu siap untuk membuat sebuah karya ilmiah. Kasus calo skripsi memang sudah banyak terjadi dan ini jelas bertentangan dengan tujuan mulia pendidikan. Skripsi saja sudah banyak pelanggaran moral seperti terjadi, pelanggaran moral seperti ini terdapat banyak factor penyebab dibalik itu. Pertama, mungkin kemudahan yang ditawarkan oleh calo skripsi yang membuat mahasiswa tertarik atau malah memang mahasiswa yang belum siap membuat skripsi bahkan mungkin saja mahasiswa mengalami kesulitan dalam pembuatan skripsi. Melirik dari kejadian ini, apakah pemerintah dengan institusi pendidikan terkaitnya, sudah mampu melihat dan menyiapkan solusi permasalahan tersebut seandainya penerbitan karya ilmiah sebagai salah satu syarat kelulusan. Baru sekelas skripsi saja sudah terdapat kejanggalan seperti ini apalagi ditambah dengan level yang lebih tinggi, maka sebaiknya pemerintah melalui kementrian pendidikan membuka diri dalam hal ini dan dengan sigap mengatasi hal ini. Bukan hanya dengan cara menindak tegas pelaku kecurangan, tetapi menyiapkan secara lebih intensif lagi mahasiswa dalam persiapannya membuat karya ilmiah. Bisa dengan menambah mata kuliah khusus pelatihan membuat karya ilmiah atau pemberian insentif berupa kemudahan kepada mahasiswa, berupa infrastruktur dan system yang lebih baik. Bayangkan akan terjadi lebih banyak pelanggaran lagi jika mahasiswa tidak disiapkan, banyak lagi calo-calo skripsi yang bermunculan dan berubah nama menjadi calo karya ilmiah, apalagi para calo mengusahakan sebuah karya yang tidak plagiat.

Infrastruktur dan system merupakan pokok persoalan yang juga harus ditanggapi pemerintah. Apakah pemerintah telah menyiapkan sebuah kemapanan dalam pengelolaan jurnal nanti yang telah selesai dibuat. Memang nanti penerbitan tidak akan memakan biaya karena akan diterapkan system online, tetapi bayangkan proses panjang dalam penerbitan jurnal ilmiah, mulai dari masa input karya, proses pengeditan dan penyelesaian. Pengeditan skripsi yang hanya bertempat pada area fakultas saja masih membuat mahasiswa butuh waktu lama, apalagi nanti sekelas jurnal yang harus dipublikasikan. Silahkan imajinasikan, nanti ada sekitar ribuan mahasiswa tingkat akhir dan mereka harus mempublikasikan karya mereka, kalau pemerintah bisa menyiapkan system dan infrastruktur yang baik dan mampu mengampu semuanya sehingga tidak ada mahasiswa yang lulus telat karena publikasi, maka kebijakan ini patut untuk dilanjutkan.

Hal demikian lah yang harus diperhatikan, apabila pemerintah siap untuk agustus 2012, silahkan, asal sudah siap dengan segala kebutuhan mahasiswa nanti. Kami mahasiswa Indonesia mendukung program pemerintah dalama rangka kebaikan ilmu pengetahuan, dengan catatan seperti diatas.

Ardhi Hiang Sawak

Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah mada

Sabtu, 04 Februari 2012

SPMA

Liburan panjang kali ini mau tidak mau juga telah menyulut keinginan para Mahasiswa untuk menyampaikan betapa baiknya kampus mereka kepada anak-anak tahun ajaran terakhir yang sekarang duduk di bangku sekolah menengah atas. Sosialisasi mereka lakukan demi menajaring para calon mahasiswa agar memilih utnuk berkuliah di tempat yang mereka sosialisasikan. Pergerakan mereka berupa pemberitahuan singkat mengenai lingkungan kampus, cara memasuki sebuah uiversitas, hingga biaya yang harus dikeluarkan.

Ada sebuah hal yang setidaknya telah menggelitik penulis mengenai sosialisasi ini, khususnya kampus kerakyatan tempat penulis belajar. Memang sampai sekarang persoalan mengenai jalur masuk hingga biaya yang harus dikeluarkan menjadi pembahasan klasik yang terus menerus dibahas.

Orang tua sekarang mengeluhkan mengenai menanjaknya biaya untuk masuk kuliah atau yan sering disebut dengan SPMA bagi mahasiswa baru, apalagi bagi orang tua yang berkemampuan kurang mumpuni. Keluhan tersebut selalu diungakapkan setiap tahun oleh wali murid yang berbeda pula setiap kali SNMPTN diadakan.

Ada sebuah dilemma yang mendera persoalan ini, persoalan pelik yang memeiliki dua sisi koin yang berbeda kepentingan, tetapi tetap tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Usaha dalam memberikan pendidikan tinggi bagi rakyat tanpa menyusahkan rakyat merupakan cita-cita luhur seluruh universitas. Mencerdaskan bangsa menjadi salah satu pokok impian seluruh rakyat Indonesia, tanpa pamrih semata-mata demi kemajuan negeri nusantara ini. Harapan kemudian muncul, harapan kalau Universitas dan Perguruan Tinggi setingkat di negeri akan memberikan fasilitas serta biaya pendidikan yang mendukung jiwa kerakyatan. Biaya pendidikan murah sangat diidamkan oleh orang tua calon mahasiswa, bermimpi dapat menyekolahkan anak-anak mereka lebih tinggi lagi dengan harga yang murah dan tempat yang terbaik, tanpa harus dibelenggu dengan mahalnya biaya masuk perguruan tinggi saat ini.

SPMA yang didasarkan pada total gaji orang tua, baikkah? Kalau dibandingkan dengan sebelumnya, dimaa SPMA bisa didasarkan kepada berapa sanggup membayar, menurut penulis ini masih lebih baik, daripada seperti yang terlihat sekarang SPMA yang dipaksakan harus sesuai total pendapatan orang tua sebulan. Apakah orang tua yang berpenghasilan total antara satu juta hingga dua setengah juta benar-benar feasible untuk membayar SPMA hingga sepuluh juta, padahal yang harus kita ketahui juga bahwa gaji digunakan untuk berbagai macam kepentingan dan keperluan. Kalau saja pihak universitas mau untuk membantu kelonggaran dan memberi kemudahan pembayaran kepada penanggung biaya, mungkin sedikit lebih bijak, akan tetapi kalau dilihat dilapangan, kemudahan ini cukup sulit dan panjang untuk didapatkan, walau pada akhirnya mungkin saja bisa mendapatkan keringanan ini.

Tapi penulis yang terhormat, kan orang tua harus diwajibkan mencantumkan surat kemampuan membayar SPMA. Surat ini memang salah satu kebijakan dari universitas untuk mengantisipasi orang tua yang tak sanggup membayar, tetapi apakah identitas pendidikan untuk kemakmuran rakyat akan dipertanyakan. Betapa memaksanya system pembayaran ini, memberatkan bisa dibilang, akan tetapi bisa lebih baik lagi, ditambah dengan surat kesediaan membayar dengan pilihan secara tunai atau mengangsur.

Di sisi koin yang lain, rakyat menginginkan kampus yang layak dan bisa memberikan fasilitas pengajaran yang baik bahkan berakreditasi internasional kalau bisa. Mungkin ini yang bisa menjadi pemikiran pihak kampus, bagaimana bisa memberikan fasilitas yang memadai dan terbaik, apa harus meminta secara penuh kepada pemerintah?

SPMA merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap menjadi solusi untuk memenuhi keinginan ini. Pengelolaan dana ini akan dijadikan sebagai bantuan untuk pembangunan kampus, baik tingkat universitas atau fakultas .

Dari opini penulis, biaya pendidikan di Singapura memang tergolong mahal, tetapi sarana pendidikan yang diberkan pun sangat baik dan maju dan kebetulan masyarakat disana juga berkemampuan ekonomi cukup baik. Bagaiamana dengan negeri ini, penulis rasa inilah yang menjadi alas an kuat, kalau mau kuliah di tempat yang bagus, yah ada harganya, tetapi harga tersebut juga tetap disesuaikan dengan kondisi ekonomi rakyat, sehingga muncullah system seperti sekarang ini.

Sekarang tinggal bagaimana kita melihat fenomena ini, mendukung rakyat untuk mendapat pendidikan murah atau melihat kampus yang ingin memberikan yang terbaik tetapi ada konsekuensinya. Mempertemukan kepentingan kedua belah pihak harus dilakukan, sekarang yang terjadi banyak orang tua yang tidak tahu mengenai system pemyaran yang baru ini. Kalau gaji menjadi tolok ukur biaya, sehingga ketika mendengar harga yang tinggi, mereka langsung menganggap Universitas tidak berpihak pada rakyat. Tetapi kita juga tidak bisa melupakan cita-cita luhur untuk memberikan pendidikan demi kemakmuran rakyat tanpa pamrih. Bagai memakan buah simalakama, kalau menurut penulis, sekarang tinggal bagaimana piak universitas mau memberikan sosialisasi lebih intens lagi pada msayarakat, kalau SPMA masih berpihak pada rakyat. Jika tidak, ucapkan selamat tinggal bagi harapan pendidikan untuk kemakmuran.