Sabtu, 04 Februari 2012

SPMA

Liburan panjang kali ini mau tidak mau juga telah menyulut keinginan para Mahasiswa untuk menyampaikan betapa baiknya kampus mereka kepada anak-anak tahun ajaran terakhir yang sekarang duduk di bangku sekolah menengah atas. Sosialisasi mereka lakukan demi menajaring para calon mahasiswa agar memilih utnuk berkuliah di tempat yang mereka sosialisasikan. Pergerakan mereka berupa pemberitahuan singkat mengenai lingkungan kampus, cara memasuki sebuah uiversitas, hingga biaya yang harus dikeluarkan.

Ada sebuah hal yang setidaknya telah menggelitik penulis mengenai sosialisasi ini, khususnya kampus kerakyatan tempat penulis belajar. Memang sampai sekarang persoalan mengenai jalur masuk hingga biaya yang harus dikeluarkan menjadi pembahasan klasik yang terus menerus dibahas.

Orang tua sekarang mengeluhkan mengenai menanjaknya biaya untuk masuk kuliah atau yan sering disebut dengan SPMA bagi mahasiswa baru, apalagi bagi orang tua yang berkemampuan kurang mumpuni. Keluhan tersebut selalu diungakapkan setiap tahun oleh wali murid yang berbeda pula setiap kali SNMPTN diadakan.

Ada sebuah dilemma yang mendera persoalan ini, persoalan pelik yang memeiliki dua sisi koin yang berbeda kepentingan, tetapi tetap tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.

Usaha dalam memberikan pendidikan tinggi bagi rakyat tanpa menyusahkan rakyat merupakan cita-cita luhur seluruh universitas. Mencerdaskan bangsa menjadi salah satu pokok impian seluruh rakyat Indonesia, tanpa pamrih semata-mata demi kemajuan negeri nusantara ini. Harapan kemudian muncul, harapan kalau Universitas dan Perguruan Tinggi setingkat di negeri akan memberikan fasilitas serta biaya pendidikan yang mendukung jiwa kerakyatan. Biaya pendidikan murah sangat diidamkan oleh orang tua calon mahasiswa, bermimpi dapat menyekolahkan anak-anak mereka lebih tinggi lagi dengan harga yang murah dan tempat yang terbaik, tanpa harus dibelenggu dengan mahalnya biaya masuk perguruan tinggi saat ini.

SPMA yang didasarkan pada total gaji orang tua, baikkah? Kalau dibandingkan dengan sebelumnya, dimaa SPMA bisa didasarkan kepada berapa sanggup membayar, menurut penulis ini masih lebih baik, daripada seperti yang terlihat sekarang SPMA yang dipaksakan harus sesuai total pendapatan orang tua sebulan. Apakah orang tua yang berpenghasilan total antara satu juta hingga dua setengah juta benar-benar feasible untuk membayar SPMA hingga sepuluh juta, padahal yang harus kita ketahui juga bahwa gaji digunakan untuk berbagai macam kepentingan dan keperluan. Kalau saja pihak universitas mau untuk membantu kelonggaran dan memberi kemudahan pembayaran kepada penanggung biaya, mungkin sedikit lebih bijak, akan tetapi kalau dilihat dilapangan, kemudahan ini cukup sulit dan panjang untuk didapatkan, walau pada akhirnya mungkin saja bisa mendapatkan keringanan ini.

Tapi penulis yang terhormat, kan orang tua harus diwajibkan mencantumkan surat kemampuan membayar SPMA. Surat ini memang salah satu kebijakan dari universitas untuk mengantisipasi orang tua yang tak sanggup membayar, tetapi apakah identitas pendidikan untuk kemakmuran rakyat akan dipertanyakan. Betapa memaksanya system pembayaran ini, memberatkan bisa dibilang, akan tetapi bisa lebih baik lagi, ditambah dengan surat kesediaan membayar dengan pilihan secara tunai atau mengangsur.

Di sisi koin yang lain, rakyat menginginkan kampus yang layak dan bisa memberikan fasilitas pengajaran yang baik bahkan berakreditasi internasional kalau bisa. Mungkin ini yang bisa menjadi pemikiran pihak kampus, bagaimana bisa memberikan fasilitas yang memadai dan terbaik, apa harus meminta secara penuh kepada pemerintah?

SPMA merupakan salah satu jalan keluar yang dianggap menjadi solusi untuk memenuhi keinginan ini. Pengelolaan dana ini akan dijadikan sebagai bantuan untuk pembangunan kampus, baik tingkat universitas atau fakultas .

Dari opini penulis, biaya pendidikan di Singapura memang tergolong mahal, tetapi sarana pendidikan yang diberkan pun sangat baik dan maju dan kebetulan masyarakat disana juga berkemampuan ekonomi cukup baik. Bagaiamana dengan negeri ini, penulis rasa inilah yang menjadi alas an kuat, kalau mau kuliah di tempat yang bagus, yah ada harganya, tetapi harga tersebut juga tetap disesuaikan dengan kondisi ekonomi rakyat, sehingga muncullah system seperti sekarang ini.

Sekarang tinggal bagaimana kita melihat fenomena ini, mendukung rakyat untuk mendapat pendidikan murah atau melihat kampus yang ingin memberikan yang terbaik tetapi ada konsekuensinya. Mempertemukan kepentingan kedua belah pihak harus dilakukan, sekarang yang terjadi banyak orang tua yang tidak tahu mengenai system pemyaran yang baru ini. Kalau gaji menjadi tolok ukur biaya, sehingga ketika mendengar harga yang tinggi, mereka langsung menganggap Universitas tidak berpihak pada rakyat. Tetapi kita juga tidak bisa melupakan cita-cita luhur untuk memberikan pendidikan demi kemakmuran rakyat tanpa pamrih. Bagai memakan buah simalakama, kalau menurut penulis, sekarang tinggal bagaimana piak universitas mau memberikan sosialisasi lebih intens lagi pada msayarakat, kalau SPMA masih berpihak pada rakyat. Jika tidak, ucapkan selamat tinggal bagi harapan pendidikan untuk kemakmuran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar